Home > Cerpen Remaja > Simple Happiness (Bagian II)

Simple Happiness (Bagian II)

Ini dia tempatnya!

Akhirnya, akhirnya setelah perjalan belasan jam, nyasar berkali-kali, tanya jalan sampai lebih ke sepuluh orang, akhirnya aku tiba di depan pintu yang akan merubah kehidupanku.

Simple Happiness (Bagian II) - Pixabay
Simple Happiness (Bagian II) – Pixabay

Jantungku berdebar kencang. Senang, gugup, semangat, perasaanku bercampur aduk. Selangkah lagi, hanya tinggal selangkah lagi aku akan meraih impianku dan mengucapkan selamat tinggal pada ketidakberdayaan.

Aku mengangkat tanganku yang agak gemetar, dan mengetuk pintu pelan. Seraya menunggu, aku berusaha menenangkan diri dengan menarik nafas dalam-dalam. Tidak lama kemudian, seorang wanita dengan pakaian kebaya dan rambut berkonde membukakan pintu. Aku menjelaskan maksud kedatanganku. Wanita itu mempersilahkanku masuk dan menunggu di ruang tamu.

Aku duduk menunggu sementara wanita itu masuk ke dalam. Aku melayangkan pandanganku. Dalam ruangan itu terdapat hiasan kepala banteng yang menempel di dinding, tanduknya besar dan runcing. Aku menoleh, menghindari matanya yang beku.

Tidak lama kemudian seorang pria tua muncul dari arah dalam. Aku mengira-ngira usianya, dan saat aku melihat deretan cincin berbatu di tangannya, aku yakin bahwa aku sudah menemukan Sang Guru. Aku menyalaminya. Setidaknya untuk menunjukkan rasa hormatku pada orang yang sebaya dengan kakekku. Kemudian wanita yang sebelumnya muncul lagi dengan membawakan 2 gelas minuman. Ia meletakkan masing-masing gelas di depan kami.

“Namamu siapa, Nak?” Tanya laki-laki itu.

“Tania, mbah.” Jawabku.

“Nak Tania, saya bisa melihat bahwa anak ini datang dari jauh. Apa maksud Nak Tania datang ke sini dan menemui saya?”

Ini dia! Ini dia saatnya!

“Saya dengar dari teman saya, mbah bisa melakukan totok aura. Dengan begitu, mbah bisa membuka aura seseorang dan membuat mereka jadi lebih cantik, disukai banyak orang, dan rezeki mereka juga jadi lebih lancar.”

Laki-laki itu mengangguk.

“Hal itu memang bisa saya lakukan. Apa itu yang Nak Tania inginkan?”

“Iya, mbah! Itu yang saya inginkan!” jawabku bersemangat. “Jadi saya bisa ditotok aura?!”

“Tentu bisa,” kata laki-laki itu, “semua bisa Nak Tania dapatkan, dengan harga yang sesuai.”

Hah? Harga? Kok Mila gak bilang apa-apa soal ini?

“Em… mbah,” kataku pelan, “terus terang saya gak bawa uang banyak. Banyak habis di ongkos…”

“Tenang, Nak, yang saya maksud bukan itu. Saya senang bisa membantu orang lain. Kalaupun Nak Tania mau membayar saya, Nak Tania bisa melakukannya setelah Nak Tania sukses. Saya tidak memaksa.”

Aku menghembuskan nafas lega. Setelah aku sukses? Boleh saja. Lagipula pada dasarnya kita tidak boleh melupakan orang yang berjasa pada kita, kan? Masuk akal.

“Saat kita menginginkan sesuatu, maka harus ada yang dikorbankan. Itu sudah hukum alam. Kita mau mendapatkan uang, kita harus mengorbankan waktu dan tenaga kita untuk bekerja. Tapi jika kita mau mendapat makanan, giliran uang itu yang kita korbankan. Semuanya terus berputar.

Saya tahu Nak Tania sudah berkorban banyak untuk datang ke sini, karena itu saya tidak keberatan untuk membantu Nak Tania. Hanya saja, dalam totok aura saya hanya membuka aura saja. Untuk menjaganya tetap terbuka, semua tergantung usaha dan pengorbanan yang Nak Tania lakukan. Itulah yang saya maksud dengan harga yang dibayar.”

“Oh..” pasti ini yang dimaksud Mila tentang kegiatan rutin dan pantangan, “apa saja yang harus saya lakukan?”

“Setelah totok aura selesai, ada ritual rutin yang harus dilakukan. Setiap bulan, pada malam bulan purnama, Nak Tania harus mengumpulkan 7 jenis kembang yang dicampur ke dalam air, lalu air itu Nak Tania gunakan untuk mandi.”

“Malam purnama? 7 jenis bunga?” aku merasa alisku berkerut, “tapi untuk apa, mbah?”

“Nak Tania, cahaya bulan memberikan energi yang positif untuk jiwa kita, sementara kembang-kembang yang nanti Nak Tania kumpulkan berguna untuk membersihkan raga.” Kata laki-laki itu, “selain itu akan ada doa khusus yang perlu Nak Tania lafalkan, nanti akan saya berikan.”

Apa tidak bisa pakai sabun saja? Pertanyaan itu hampIr keluar dari mulutku, tapi aku menahannya. Apa yang kutahu soal aura? Mungkin maksudnya aku harus menggunakan pembersih yang alami.

“Baiklah, bagaimana kalau kita mulai totok auranya sekarang?” kata laki-laki itu seraya berdiri, mungkin untuk mengambil peralatan atau kami perlu ke ruangan tertentu untuk melakukan totok aura. Aku tidak tahu.

“T, tunggu sebentar, mbah!” Seruku.

Laki-laki itu terhenti, “ada apa, Nak?”

Aku sesaat mengap-mengap. Ada apa? Kenapa aku menghentikannya? Bukankah memang itu tujuanku kemari? Tapi aku merasa ada yang mengganjal di benakku. Aku merasa pembicaraan kami terlalu cepat. Mungkin ini jiwa telemarketingku, setelah berbulan-bulan menawarkan investasi, aku tahu bahwa sebelum berinvestasi kita harus menanyakan secara detil karena seringkali ada system yang tidak diucapkan saat penawaran.

Apa yang harus dipikirkan sebelum berinvestasi? Cara kerja, keuntungan dan kekurangan.

Aku belum mendengar kekurangan investasinya.

“Em… teman saya sempat menyinggung soal pantangan… kalau boleh, saya mau dengar soal pantangannya dulu,”

“Oh… saya kira apa. Nak Tania jangan khawatir, pantangannya tidak banyak, dan saya yakin Nak Tania bisa melakukannya.”

Walaupun dibilang begitu… “saya mau dengar pantangannya dulu, tidak apa-apa, kan?”

“Hm… baiklah, kalau Nak Tania memaksa.” Laki-laki itu kembali duduk. Aku menghela nafas pelan.

“Untuk menjaga aura Nak Tania tetap bagus nantinya, ada dua pantangan yang harus Nak Tania hindari.”

Aku menganggukkan kepala. Cuma dua? Kecil…

“Untuk pantangan pertama; Nak Tania hanya boleh makan daging tertentu. Telur boleh dimakan, karena itu belum jadi daging. Tapi untuk daging, Nak Tania hanya boleh makan daging binatang yang masih muda.”

“Daging binatang muda?”

“Jangan khawatir, yang saya maksud ‘muda’ di sini bukan anak binatang yang baru lahir. Contohnya untuk daging sapi, usianya boleh sekitar 1,5 atau 2 tahun. Sebisa mungkin jangan lewat 2 tahun. Daging ikan pun, cari ikan yang masih agak kecil. Begitu seterusnya.”

Aduh, repotnya… bagaimana caraku memastikan daging hewan yang kumakan belum berumur lebih dari 2 tahun. Apa aku harus potong hewan sendiri? Atau sekalian saja aku jadi vegetarian? Tapi berarti aku tidak bisa makan sate ayam lagi…

Laki-laki itu bicara lagi.

“Kemudian, untuk menjaga aura Nak Tania tetap terbuka lebar, Nak Tania tidak boleh menikah.”

“APA?!”

Suaraku sampai terdengar melengking saking terkejutnya, karena… apa?!

“Seseorang yang memiliki aura terkuat adalah seseorang yang memiliki jiwa bebas. Saat Nak Tania menikah dengan seseorang, berarti jiwa Nak Tania terikat oleh orang tersebut. Hal itu menyebabkan aura miliki Nak Tania menjadi tertekan.” Kata laki-laki itu dengan tenang.

Aku merasa jauh dari tenang.

“Tapi mana mungkin saya tidak menikah seumur hidup! Saya punya pacar dan kami akan menikah, saya ingin punya keluarga, punya suami dan anak!”

“Jika bagimu menikah sangat penting, masih ada cara lain yang bisa Nak Tania lakukan sebagai harganya.”

“Sungguh? Masih ada cara lain agar saya bisa menikah?” kataku penuh harap.

“Untuk menegaskan bahwa Nak Tania memegang kendali penuh atas diri Nak Tania, Nak Tania tidak boleh berhubungan hanya dengan satu laki-laki.”

“Maksud mbah saya harus berselingkuh?!”

“Kenapa harus selingkuh? Nak Tania bisa menikahi keduanya.”

“AP-“

“Di Negara ini banyak yang yang menikah secara siri. Dengan cara itu, seseorang bisa menikah lebih dari satu kali.”

“Saya ini perempuan, mbah!”

“Kalau laki-laki bisa, kenapa perempuan tidak boleh?”

Kenapa tidak? Tidak tahu. Aku bukanlah ahli agama atau ahli hukum. Aku hanya merasa wanita yang sengaja menikahi lebih dari seorang pria sama sekali bukan hal lumrah.

“Nak Tania memikirkan masalah ini terlalu rumit,” kata laki-laki itu,  “Setelah totok aura nanti, Nak Tania tidak akan kesulitan mendapatkan laki-laki yang mau bersama Nak Tania. Dengan kesuksesan yang nanti akan Nak Tania raih, saya yakin suami pertama Nak Tania tidak akan begitu bodoh memilih untuk berpisah hanya karena ia harus berbagi dengan seorang laki-laki lainnya.” Kemudian ia menambahkan, “Jika Nak Tania tidak yakin dengan reaksinya nanti, Nak Tania bisa merahasiakannya. Dia tidak akan merasa terluka akan sesuatu yang tidak ia ketahui.”

Tidak akan kesulitan mendapatkan laki-laki… ya, memang itu yang tersirat dari keinginanku, kan? Disukai banyak orang? Aku ingat bagaimana para laki-laki terpesona pada Mila. Mereka melihat seakan Mila adalah dewi  dari khayangan, dan seakan mereka siap untuk melakukan apapun seandainya Mila menghendaki. Aku ingat orang yang membawakan makanan ke meja kami, senyum lebar tidak lepas dari wajahnya saat Mila sekedar mengucapkan ‘terima kasih’. Aku membayangkan diriku sebagai Mila, kemudian menunjuk laki-laki yang kusuka dan bilang aku ingin dia menikahiku…

Aku merasa dingin menjalar ke leher dan punggungku. Bayangan apa yang kukhayalkan? Apa aku benar-benar berpikir menjadikan laki-laki di sekitarku sebagai objek? Budak yang sudah tidak punya pikiran dan harga diri? Siapa aku untuk memperlakukan mereka seperti itu?

Dan meskipun aku bisa bersikap seperti itu, apa aku bisa mengkhianati Doni?

Doni tidak akan mau diduakan, itu sudah pasti. Kami berdua punya pandangan yang sama tentang hal itu; hubungan kekasih hanya boleh berisi dua orang. Begitu ia tahu aku bersama laki-laki lain, saat itu juga ia akan pergi, tidak peduli berapa banyak uang yang kupunya.

Berhubungan dengan orang lain secara diam-diam hanya membuatku merasa kotor dan jijik.

“Nak Tania?”

Suara laki-laki itu membangunkanku. Aku menoleh, laki-laki itu memandangku dengan senyum yang hampir kebapakan.

“Nak Tania, saya tahu membayangkannya terasa menakutkan,” katanya, “tapi percayalah, semuanya akan sepadan dengan apa yang Nak Tania akan dapatkan.

Apa semua benar-benar akan sepadan?

Mempertaruhkan hubungan yang sudah dibina bertahun-tahun, apakah sepadan?

Menyakiti orang yang kita cintai, menghancurkan hati yang ia percayakan pada kita, apakah sepadan?

Kemungkinan kehilangan orang tersebut, digantikan oleh orang yang bersikap seperti boneka, hanya mengiyakan keinginan kita tanpa pikiran sendiri, apakah sepadan?

Apakah sepadan?

Aku berdiri. Tanganku memegang tas ranselku.

“Maaf, mbah. Tapi saya tidak jadi untuk totok aura.” Kataku.

Kemudian aku meninggalkan rumah itu. Aku tidak menoleh ke belakang sekalipun.

Cerpen Simple Happiness (Bagian II) adalah cerita pendek karangan Nina Ruliana . Kategori Cerpen Cinta. Pembaca dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya dengan mengklik namanya.

Silahkan Share Artikel Ini:

About Nina Ruliana

Logo-Penulis-Cerpen
Seseorang yang menikmati cerita dan ingin berbagi kebahagiaan kecil itu dengan orang lain.

Check Also

Sepeda Tua yang menggema dalam Jiwa - Image by Pixabay

Sepeda Tua yang menggema dalam Jiwa

Mentari bersinar kembali pagi ini, membangunkan setiap insan dari lelapnya malam. Tapi Sang Mentari, tidak …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *