“Tania?”
Aku menoleh. Seorang gadis berparas cantik menatapku, dengan mata terkejut. Aku hampir berkata ‘siapa, ya?’ namun kemudian wajahnya berubah menjadi gadis SMA dengan model rambut ekor kuda, yang matanya berbinar setiap kali bicara soal band Sheila on 7, yang dahinya berkerut saat menghadapi soal fisika.

“Mila? Ya ampun, kamu Mila?!” seruku terkejut. Bagaimana tidak, sudah lebih dari 5 tahun kami tidak bertemu, sejak kelulusan SMA.
“Iya, ini Mila.” Katanya. Ya ampun, gaya bicaranya pun masih sama.
“Mila!” Seruku sambil memeluknya. Ia balas memelukku. Kami seperti kembali menjadi anak remaja, berteriak senang tanpa peduli orang-orang sekitar.
“Mila, kapan kamu balik ke Jakarta? Kamu…” aku memandang penampilannya secara menyeluruh, “kamu jadi cantik banget!”
Aku tidak berbohong. Mila jadi seperti model. Rambutnya panjang bergelombang, hitam dan mengkilat, kelihatan sangat lembut. Pakaiannya juga terlihat modis, baju berbahan sweater dengan blazer dan celana panjang bahan, ditambah tas dan sepatu yang terlihat sangat serasi.
Kemudian wajahnya, ia terlihat sangat cantik. Meskipun wajahnya masih wajah Mila yang ia kenal, tapi kulitnya kelihatan sangat berseri-seri. Seperti artis di TV, yang saat melihatnya membuatmu berpikir; ‘dia sangat cantik, aku mau jadi seperti dia.’
“Kamu jadi model?”tanyaku, karena menurutku itu adalah penjelasan yang masuk akal. Mila menggeleng sambil tertawa.
“Nggak, Tania. Aku bukan model,” katanya, “aku buka salon, jadi otomatis aku harus belajar soal make-up dan tata rambut. Aku balik ke Jakarta sekitar tahun lalu, tapi memang kamu teman SMA pertama yang aku temui lagi.”
Buka salon? Wow! Sepertinya Mila sudah sukses. Aku melirik ke busananya. Kelihatannya memang bukan pakaian yang dibeli di sembarang toko. Blazernya mungkin lebih mahal dibanding harga baju dan celanaku sekaligus. Tasnya kelihatan seperti tas yang pernah kulihat di cover majalah.
“Kamu dari mana, Tan?” Tanya Mila.
“Aku baru pulang dari tempat kerja,” Sebagai telemarketing. Entah kenapa terbesit rasa pahit saat aku memikirkannya.
Kenapa pikiranku jadi begini? Aku tidak pernah membanggakan apa yang kulakukan, tapi aku juga tidak pernah merasa malu. Itu hanya pekerjaan.
“Kamu buru-buru? Kita sudah lama gak ketemu…” kata Mila.
Ah… kenapa aku harus berpikiran buruk? Mila masih sama seperti dulu.
“Aku gak buru-buru kok,” kataku. Kemudian aku memberinya senyuman lebar, “mau cari makan sama-sama?”
Kami memasuki kawasan kios makanan. Sepanjang jalan aku bisa melihat orang-orang melirik ke arah kami. Aku menghembuskan nafas. Oke, mereka jelas melirik Mila. Sebagian cowok bahkan jelas-jelas menunjuk ke arahnya. Sementara cewek-cewek kelihatan saling berbisik, mungkin berdiskusi tentang wajah Mila, rambut, atau busananya.
Ayo, Tania. Kamu punya Doni yang sayang sama kamu. Kamu gak perlu menjadi pusat perhatian atau primadona, aku berusaha meyakinkan hatiku.
Kami memilih meja yang agak jauh dari jalan untuk menghindari suara bising dan orang berlalu lalang. Aku memesan semangkok bakso dan segelas es teh. Sementara Mila memesan semangkuk lontong sayur dan segelas es kelapa.
“Kamu mau coba baksonya, Mila?” tawarku, karena seingatku Mila suka sekali makan bakso.
Tapi Mila menggeleng, “Makasih, Tan. Aku lagi diet.”
“Ah, diet untuk apa?” seruku. “Aku yakin ukuran bajumu itu S.”
“Diet kan bukan cuma untuk menurunkan berat badan, tapi juga memelihara berat badan.” Kata Mila, “Nggak apa-apa, kok. Aku sudah terbiasa.”
Aku tidak bicara apa-apa lagi. Mungkin ini resiko yang ia terima karena ia buka usaha salon, ia harus menjadi ikon kecantikan atau semacamnya, agar pelanggannya percaya pada kualitas salonnya.
Kemudian kami saling bicara tentang kehidupan kami selama 5 tahun terakhir. Mila bercerita bahwa setelah lulus SMA ia sempat kuliah di Bandung. Tapi setelah 2 tahun, ia merasa suntuk, ia ingin berwirausaha. Awalnya orangtuanya menentang, tapi setelah beberapa lama dibujuk akhirnya mereka luluh juga. Awalnya ia berjualan kosmetik di perusahaan multimarketing. Setelah beberapa lama pendapannya meningkat, hingga ia bisa membuka salon sendiri.
Aku sempat menggodanya tentang pacar dan pernikahan. Mila hanya tersenyum dan mengatakan bahwa ia ingin fokus bekerja dulu.
Setelah itu giliranku bercerita. Berbeda dengan Mila, keluargaku tidak sanggup untuk membayar biaya kuliah, jadi setelah lulus SMA aku langsung mencari kerja. Lulusan SMA tidak bisa naik ke jabatan tinggi, jadi biasanya aku bekerja sampai surat kontrak habis atau sampai aku bosan. Enam bulan terakhir aku bekerja sebagai staf telemarketing di suatu bank dan menawarkan asuransi.
Pembicaraan kami berhenti seraya kami menghabiskan makanan kami. Terus terang, aku memang lapar. Terakhir aku makan sudah 4 jam yang lalu.
“Tania,” kata Mila pelan, “Kamu pernah dengar yang namanya totok aura?”
“Totok aura?”
“Iya. Jadi, teorinya adalah setiap orang memancarkan aura dari dalam tubuhnya. Aura yang dimiliki berbeda warna dan intensitasnya. Ada sebagian orang memiliki kemampuan untuk melihat aura, namun bagi yang tidak bisa seperti kita, terkadang tetap bisa merasakan aura orang lain jika aura itu cukup kuat. Contoh: kamu pasti pernah, kan, melihat orang yang membuatmu merasa takut meskipun sebenarnya kamu tidak kenal dia?”
Aku mengangguk. Terbayang sosok laki-laki yang pernah kulihat di stasiun. Dia berpenapilan normal, memakai kemeja dan celana jeans. Namun saat ia duduk di kursi di sebelahku, dalam benakku seperti ada yang berteriak; ‘awas! Pergi! Lari!’ Saat itu aku mengeluarkan hp-ku, berpura-pura menerima telpon, lalu pergi sejauh-jauhnya. Aku ingat debaran jantungku seperti menggema di rongga dadaku.
“Lalu kamu juga pasti pernah, kan, bertemu orang yang membuatmu ingin selalu ada di dekatnya meskipun orang itu sebenarnya biasa-biasa saja?”
Aku mengangguk. Hubunganku dengan saudariku seperti itu. Orangtuaku sering berbagi cerita tentang bagaimana aku selalu mengikutinya saat kecil. ‘Seperti anak kembar yang terpisah’, kata mereka. Sampai sekarang pun, aku sering mendapati duduk di sampingnya saat makan, baca majalah, atau nonton TV.
“Konon, itu dipengaruhi oleh aura orang tersebut. Ada yang mengeluarkan aura positif, ada yang negatif. Hal itu mempengaruhi pandangan orang pada kita.”
Aku mengangguk-angguk. Apa yang dikatakan Mila cukup masuk akal.
“Aura juga bisa mempengaruhi rezeki seseorang.”
Nah, itu menarik perhatianku. Mempengaruhi rezeki? Maksudnya bagaimana?
“Jika kita mengeluarkan aura positif yang kuat, orang-orang akan senang pada kita, dan hubungan kita dengan orang lain menjadi lebih baik. Pada akhirnya itu akan berpengaruh pada usaha kita.”
“Oh…” kataku. Pikiranku mencerna ucapannya. Jadi, seandainya auraku kuat, mungkin karirku akan menjadi lebih baik. Tapi aku bekerja sebagai telemarketing, orang-orang hanya mendengar suaraku. Apa masih berpengaruh? Tapi mungkin itu bisa memberi pengaruh pada teman-teman sekantorku, dan juga supervisorku, mungkin aku bisa naik pangkat…
Aku mendesah.
“Kalau aura kita kuat, sih, enak…” gumamku. Sepertinya untuk kasusku tidak seperti itu.
Mila tersenyum.
“Ada, kok, cara agar aura kita bisa jadi lebih kuat.”
“Eh? Benar?” tanyaku bersemangat. Mila mengangguk.
“Sebenarnya…” Mila berkata pelan, “Aku melakukan totok aura untuk memperkuat auraku, hal itu juga yang membantu hingga bisnisku lancar.”
“Serius?! Gimana caranyaaa?” tanyaku dengan nada membujuk, sambil mengguncang pelan lengannya. Mila tertawa pelan.
“Aku tahu seorang Guru. Dulu, aku sering pergi naik gunung dengan teman-teman kampusku. Kami sedang singgah di perkampungan di kaki gunung saat aku mendengarnya. Beliau cukup terkenal di perkampungan itu. Sakti, dan memiliki ilmu yang luas tentang dunia yang tak kasat mata. Konon, orang-orang penting dengan mobil-mobil mewah sering datang meminta nasihat pada beliau. Aku tertarik, jadi aku memutuskan untuk mengunjungi beliau.”
“Terus bagaimana? Orangnya seperti apa?”
“Dia sudah tua, kelihatannya lebih dari 60 tahun. Penampilannya biasa saja, kok, hanya aku ingat dia menggunakan beberapa cincin batu akik di tangannya. Dia bertanya tentang maksudku datang ke sana. Ya sudah, aku terus terang saja.”
“Kamu jawab apa?”
“Aku ingin agar orang-orang suka padaku, agar aku terlihat cantik di mata mereka, agar bisnis yang ingin kubangun bisa berkembang pesat.”
Jantungku langsung berdegup kencang. Itu keinginan yang sempurna. Perempuan mana yang tidak ingin cantik, disukai banyak orang, dan sukses?
“Lalu apa yang terjadi?”
“Guru itu menyiapkan sebuah baskom berisi air yang dicampur dengan beragam bunga. Kemudian ia menyuruhku untuk membasuh wajah, tangan, dan kakiku sementara ia membacakan doa.”
“Itu saja? Semudah itu?” tanyaku tercengang.
“Tentu saja tidak selesai sampai di situ. Agar aura kita tetap terbuka, ada kegiatan rutin yang harus dilakukan, dan pantangan yang harus dihindari. Tapi pantangannya juga sesuai dengan kemampuan kita, kok.”
Aku tidak berkata apa-apa selama beberapa saat. Cerita Mila seperti merasuk ke dalam pikiranku, dan kalimat-kalimatnya seperti rekaman yang diputar berulang-ulang.
“Kamu tertarik?”
Lamunanku langsung buyar. Aku memandang Mila dengan mata terbelalak. Mila tersenyum melihatku.
“Aku masih punya alamatnya, karena kebetulan aku termasuk orang yang ikutan research tempat untuk mendaki.” Kemudian senyumnya sedikit memudar. “Aku bilang kalau aku sudah di Jakarta sejak tahun lalu, tapi sebenarnya minggu depan aku akan pergi lagi.”
“Eh” urusan totok aura menghilang dari benakku, “Pergi lagi? Maksudmu pergi liburan atau….”
“Pindah. Sejak awal rumahku memang di Bandung. Aku datang ke Jakarta untuk peluang bisnis. Aku membuka cabang salonku di Jakarta.” Terlihat senyum bangga pada wajah Mila. Aku sadar bahwa usaha salon ini pasti benar-benar penting untuknya.
“Oh… selamat, ya!” kataku, “walaupun sayang juga kamu harus pergi lagi…”
“Makanya sekarang, kalau kamu mau, aku akan berikan alamat Guru itu, sebagai hadiah perpisahan.”
Ah… aku benar-benar merasa sangat terharu. Di pertemuan singkat kami Mila masih berpikir untuk berbagi kunci kesuksesannya denganku. Mila memang teman yang baik!
Aku berusaha untuk menahan rasa girangku yang meluap-luap saat Mila memberikan alamat Sang Guru dalam secarik kertas. Dalam benakku sudah tersusun rencana keberangkatanku dan hal-hal yang perlu dilakukan; cuti kerja, cek jadwal kereta, cari tempat bermalam, dan lain-lain.
Setelah itu… pintu sukses akan terbuka untukku!
Cerpen Simple Happiness (Bagian I) adalah cerita pendek karangan Nina Ruliana . Kategori Cerpen Cinta. Pembaca dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya dengan mengklik namanya.