Terima kasih telah memberi contoh bahwa tak ada kata menyerah untuk terus hidup dan menghidupkan alam literasi
Begitulah komentar yang kudapatkan enam bulan yang lalu dari seseorang bernama Bahdi, pada sebuah unggahanku di Facebook. Aku membagikan cerita dan kata-kata motivasi perihal aktivitasku sebagai penulis, penjual buku, dan pembina komunitas penulis. Hingga akhirnya, ia yang tampak melakoni aktivitas serupa, memberikan respons, seolah-olah ia mengalami kondisi yang sama sepertiku.
Tetapi dunia maya hanyalah ruang rekaan yang bisa menampakkan perihal yang jauh berbeda dari realitas. Nyatanya, semangatku untuk hidup sebagai pejuang literasi, masih terus terseok-seok. Pasalnya, keadaan perekonomianku sebagai aktivis penulisan dan perbukuan, malah makin mencemaskan. Paling tidak, aku masih kewalahan memenuhi keperluan hidupku beserta istri dan dua orang anakku.
Sudah lima belas tahun aku memasrahkan hidupku di dalam dunia aksara. Aku kukuh berjuang menjadi seorang penulis yang sukses. Namun pencapaianku ternyata begitu-begitu saja. Tak sekali pun aku berhasil menampilkan tulisanku di halaman koran ternama. Aku hanya bisa menembus redaksi koran lokal atau media daring dengan persaingan dan kurasi yang tidak ketat. Hingga akhirnya, aku mulai putus asa untuk mengejar karirku sebagai penulis.
Tetapi hidup di tengah buku-buku, selalu saja membangkitkan semangatku untuk berjuang membesarkan namaku sebagai penulis, khususnya penulis fiksi. Setiap kali aku berada di perpustakaan pribadiku dan membaca koleksi buku yang menarik, aku selalu terpancing untuk menghasilkan karya serupa. Seiring itu, ketika aku membaca sebuah karya yang kurasa buruk, aku akan terpacu untuk menuliskan karya yang baik menurut versiku.
Belum lagi, aku punya toko buku dan sebuah komunitas penulis. Dua hal itu membuatku makin enggan untuk berhenti menjadi penulis. Aku tak ingin orang-orang yang senantiasa memuji dan mengelu-elukanku sebagai seorang pejuang literasi, jadi turut berputus asa. Aku tak ingin mereka kehilangan teladan untuk bertahan sebagai pencinta aksara yang belum tentu mendapatkan apa-apa selain kesenangan berbagi ide.
Akhirnya, aku tetap bertahan di dalam dunia penulisan dan perbukuan, meski aku harus hidup dengan perekonomian yang pas-pasan. Aku tak juga menjadi penulis ternama yang bisa meraup pendapatan materi dari aktivitas menulis. Pada saat yang sama, toko bukuku makin sepi pengunjung. Pun, perpustakaan kecil dan komunitas penulis yang kubentuk, tidak juga mampu membangkitkan minat menulis dan minat membaca masyarakat sekitar, sehingga tidak berdampak positif pada aspek ekonomi dunia literasi.
Atas kenyataan itu, aku pun makin menyadari kenyataan bahwa perkembangan teknologi telah memberi pengaruh yang negatif pada iklim literasi. Ketimbang membaca buku, banyak orang yang lebih suka menengok layar gawai untuk berselancar di media sosial atau bermain gim. Mereka terus saja mencari kesenangan semu di layar-layar gadget, hingga abai mencari tahu dan memahami hakikat kehidupan yang tercatat rapi di lembar-lembar kertas.
Kini, tampak jelas bahwa banyak orang yang memosisikan aktivitas membaca buku sebagai selingan saja di tengah kecapaian mereka bermain gawai. Padahal, kukira, membaca buku adalah kebutuhan pokok untuk setiap jiwa, sedangkan bermain gadget hanyalah keperluan sampingan. Karena itu, aku tidak suka menyaksikan ruang-ruang literasi dicemari dengan embel-embel teknologi yang akhirnya mengganggu kekhidmatan dalam pertukaran pengetahuan, semisal ruang baca atau ruang diskusi yang dilengkapi dengan sambungan internet.
Tetapi hantaman teknologi, tak mampu juga menandaskan napasku untuk bertahan sebagai pejuang literasi. Semangatku bahkan makin menggelora setelah aku membaca pengalaman Bahdi, sang pejuang literasi, yang telah lama menjadi temanku di dunia maya. Pasalnya, ia yang dahulu tampak terseok-seok bertahan hidup di dalam dunia literasi sepertiku, kini berhasil bangkit dan berkembang.
Setidaknya, pada laman media sosial dan blog pribadi lelaki itu, aku bisa menyaksikan bahwa ia makin banyak menerbitkan tulisan di koran ternama, juga buku di penerbit mayor. Ia pun sukses mempertahankan dan memajukan toko buku miliknya di tengah minat baca yang rendah. Ia juga berhasil menyemarakkan komunitas penulisnya, hingga menghasilkan beberapa penulis pendatang baru yang andal. Karena itu, aku menganggapnya sebagai contoh yang baik untuk bertahan di dalam dunia penulisan dan perbukuan.
Hingga akhirnya, hari ini, ketika aku tengah menghadiri sebuah seminar tentang dunia literasi di kotanya, aku pun bertemu langsung dengannya. Seketika pula, kami terlibat dalam perbincangan yang hangat.
“Bagaimana Bapak bisa bangkit sebagai penulis dan penjual buku di tengah iklim literasi yang makin kurang peminat?” tanyaku kemudian, setelah sesi perkenalan yang lebih dalam dan basa-basi yang panjang.
Ia lantas tertawa pendek. “Sebaiknya, Bapak ikut aku untuk melihat langsung lingkungan literasi yang kubangun.”
Aku pun setuju.
Akhirnya, beberapa lama kemudian, selepas kegiatan seminar tersebut, aku pun bertandang ke medan kehidupan dan penghidupannya. Setelah sampai, aku sontak terkejut menyaksikan sebuah kafe dengan perangkat WiFi, juga sebuah kios penjulan gawai, yang berdiri tepat di samping toko bukunya yang tampak ramai.***
Cerpen Pencinta Aksara adalah cerita pendek karangan Ramli Lahaping. Kategori Cerpen Remaja. Pembaca dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya dengan mengklik namanya.
Ramli Lahaping. Lahir di Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Aktif menulis blog (sarubanglahaping.blogspot.com). Telah menerbitkan cerpen di beberapa media daring. Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi).