Aku terkejut dan bingung mendengar bisikan lirih gadis itu. Reflek, aku menoleh pada wajah kumal yang masih ada di dekatku.
“Tolong? Maksudnya?” Bisikku bingung.
Melati menarik diri. Bibirnya terkunci dengan pandangan tajam penuh antisipasi ke arah belakangku. Aku menoleh cepat, ternyata aku lihat Pak Kades tadi tengah menatap tajam dan terlihat gusar ke arah Melati.

Aneh. Kenapa orang waras harus terlihat gusar karena orang gila? Aku menoleh lagi ke arah Melati. Dia menatapku dengan tatapan seperti memohon…
“Pak, bisa tolong tunggu diluar saja? Saya harus memeriksa mbak ini lebih teliti.” Pintaku baik- baik.
Pak Kades terlihat gusar. “Melati bahaya, Pak Dokter.”
Aku tersenyum berusaha meyakinkan. “Insya Allah tidak akan apa-apa, Pak.” Ucapku.
Pak Kades mengangguk pasrah lalu pergi.
Aku beralih lagi pada wanita terpasung di depanku. “Berbaringlah!” Perintahku dengan lembut.
Dia menurut dan berbaring. Aku langsung mengeluarkan stetoskop dari tas punggung yang ku bawa. Aku harus memeriksanya dulu sebelum mencari jawaban dari rasa penasaranku. Aku cukup yakin, gadis ini tidak gila.
Aku memeriksa Melati dan memberi tahukan bahwa ada masalah cukup serius pada lambungnya. Tentu saja aku faham, memang siapa orang yang masih bisa makan dengan baik saat dia terpasung begitu.
“Tolong… Aku mohon…” Suara lirih serupa bisikan itu terdengar lagi.
Aku membeku, lalu menatap kearahnya. “Saya coba. Apa yang bisa saya bantu?” Bisikku pelan dan serius.
“Aku tidak gila. Aku di jahati, Pak Dokter.” Ucap Melati lirih dengan mata berkaca-kaca.
Aku mengerutkan keningku bingung. “Maksud mbak?”
“Juragan Marda… Orang itu jahat. Aku di telanjangi dan orang itu sentuh aku di mana-mana. Dia jahat!” menahan teriakan lirihnya.
Aku tersentak lalu menatapnya dengan mulut setengah menganga karena terkejut. “Maksud mbak, di lecehkan?” Bisikku hati-hati.
Melati mengangguk sambil terisak. “Aku sudah bilang ke Pak Kades, tapi beliau gak percaya.”
Aku terdiam sedikit bingung tak tahu harus bicara apa. “Lalu kenapa Mbak bisa sampai di pasung?” Tanyaku heran.
flashback
Melati menyembunyikan pisau dapur di belakang punggungnya saat akhirnya pintu gubuk reotnya terbuka. Nafas gadis itu memburu karena takut dan marah saat melihat seorang pria tua kurus dengan seringai jahat di depannya.
“Melati, kamu jangan melotot begitu sama juraganmu ini. Saya sedih lho, anak yang saya besarkan kok jadinya malah tak tahu diri seperti kamu.” Ejek si pria tua itu sambil terkekeh.
Si pria tua bernama Marda itu menghampirinya dengan pelan. Melati semakin mengeratkan pegangan pada pisaunya. Nafas gadis itu terengah karena panik dan seluruh tubuhnya gemetar hebat.
Marda tertawa jahat pada mangsa kesayangannya. Sudah lama dia menanti untuk bisa memanen gadis cantik yang diasuhnya sejak kecil itu. Dengan percaya diri, Marda menerjang tubuh Melati yang tersudut di pojok gubuk itu. Sayangnya, nafsu jahat membuatnya ceroboh dan lengah, hingga akhirnya suara raungan kesakitan terdengar darinya saat dia merasakan sengatan rasa sakit di perutnya.
Marda ambruk sambil memegangi perutya yang tertusuk pisau. Dia menatap marah kearah Melati yang kini tersenyum puas ke arahnya.
“Kurang ajar! Lihat saja, kau yang akan habis nanti.” Ancam Marda sambil meringis menahan sakit.
Melati terdiam. Berusaha menahan diri agar tak menerjang dan memukuli penjahat itu. Lalu, dia dikejutkan oleh Marda yang tiba-tiba berteriak minta tolong dengan kencang. Tak lama berselang, dua orang pria dengan pakaian hansip masuk dengan cepat ke dalam gubuknya.
“Astagfirullah! Juragan! Kenapa bisa begini?” Mereka bergegas menghampiri Marda yang terlihat sudah kepayahan.
Marda menatap Melati dengan tatapan sedih palsu yang meyakinkan. “Anakku… ternyata dia gila. Dia menganggapku ditumpangi jin, lalu entah kenapa Melati menusukku dengan pisau.” Dusta Marda sambil pura-pura terisak sedih.
Melati menggeleng panik saat dua orang tadi kini menatapnya dengan marah dan ngeri. ”Bohong! itu bohong, Pak! Melati dijahatin! Bukan begitu kejadiannya.” Melati setengah histeris menceritakan hal yang sebenarnya untuk meyakinkan orang-orang itu.
“Cepat panggil Pak Kades!” teriak salah satu dari mereka saat melihat Marda sudah hampir tak sadarkan diri.
***
Melati tergagap mundur dengan wajah ketakutan. Tangannya tak henti memilin dan meremas daster kumal yang melekat di tubuhnya.
“Jangan..” Lirihnya memohon dengan nada sedih.
“Melati, kami terpaksa harus pasung kamu, nak. Perbuatan kamu kemarin itu sudah bisa disebut percobaan pembunuhan.” Ucap lelaki setengah baya yang menjabat kepala desa itu.
“Dia yang jahat. Bukan Melati. Saya sudah bilang puluhan kali. Saya di jahatin.” Melati berkata dengan putus asa pada pria itu.
“Jangan nuduh macem-macem nak! Beliau itu sudah sangat baik sama kamu. Dari kecil kamu dikasih makan dan pekerjaan. Masa kamu seenaknya.”
Melati meraung kencang mendengar Kepala Desa yang tak percaya pada fakta yang dialaminya. Dia menangis keras lalu berjongkok putus asa.
“Jadi gimana Pak Kades?” Tanya seorang pria dengan kopiah hitam dikepalanya.
Kepala desa itu menghela nafas berat dengan wajah muram dan tak tega yang tampak jelas. “Terpaksa kita pasung dia. Melati itu gila turunan dari ibunya. Susah sembuhnya. Bahaya kalau dilepaskan. Dulu ibunya saja hampir gorok suaminya sendiri yang sedang tidur.”
“Mengenai tempatnya, juragan Marda tadi di rumah sakit sudah merelakan gubuk bambunya yang diujung desa demi kebaikan Melati sendiri dan juga keamanan warga desa.”
Melati melotot panik dan semakin keras menangis. Dia menjerit histeris dan meronta saat beberapa warga menyeret tubuh kecilnya yang sudah lelah.
Flashback end.
***
Aku tersentak, terkejut dan marah mendengar ceritanya. Aku yakin gadis ini tidak berbohong. Saat ini, butuh usaha untukku agar tak mengumpat di depannya yang kini masih terisak. Aku baru saja hendak bicara, saat Melati menunjukkan sesuatu yang membuat jantungku serasa berhenti.
Dia menggeser leher daster kumalnya perlahan. Di area lehernya terlihat luka gigitan dan beberapa titik bilur merah yang cukup jelas terlihat.
“Astagfirullahal’adzim… itu… kapan kejadiannya?” tanyaku dengan suara bergetar menahan marah.
“Kemarin tengah malam. Marda memaksaku berkali-kali. Aku tidak bisa berontak karena dia melilitkan rantai ke tanganku lalu ke kaki dipan. Aku sudah menjerit, tapi tidak ada yang datang.” Ucap Melati pilu.
Aku mengejang marah. Dengan nafas memburu, aku bangkit dengan cepat. ”Tunggu sebentar!”
Aku membuka pintu, lalu tertegun. Di depanku kini Pak Kades berdiri dengan wajah pucat dan mata menyala penuh amarah. Tangannya terkepal kencang.
Aku menatapnya waspada.
Pak Kades melirik sekilas pada Melati, sebelum akhirnya beralih menatapku. “Apa masih ada yang bisa kita jadikan bukti ke polisi nanti?” Tanya Pak Kades dingin.
Aku tersentak. Ternyata Pak Kades dan tiga warga lainnya mencuri dengar percakapan pelan kami. Tidak heran tentu saja, karena kami berbicara di sebuah ruangan kecil dengan dinding bilik yang banyak bercelah.
“Ada. Lukanya masih baru. Kita bawa Melati buat divisum juga agar lebih menguatkan.” Kataku dengan tegas.
Pak kades mengangguk. Lalu pandangannya beralih pada Melati yang terlihat juga menatap kearah kami dengan mata berkaca-kaca. Pak Kades menggertakkan rahangnya, lalu berbalik dengan cepat pada tiga orang yang berdiri kaku di belakangnya.
“Kumpulkan warga! Kita tangkap Marda!”
***
Part 02 end.
Cerpen Bunga (Perawan) Part 02 adalah cerita pendek karangan Tia Ayu Lestari. Kategori Cerpen Romantis. Pembaca dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya dengan mengklik namanya.