Aku menatap iba pada teman sekantorku yang kini terbaring tidak sadarkan diri di ranjang sempit rumah sakit. Kaki kanannya patah. Tulang rusuknya retak di beberapa bagian, dan kepalanya pun kena gegar otak karena benturan. Dia harusnya pergi keluar kota hari ini. Tapi nasib naas menimpanya tanpa diduga. Sebuah mobil bak terbuka menabrak sepeda motor bebeknya hingga terpental.
“Mas Azka, suami saya gak mungkin bisa lanjutin tugasnya. Trus gimana untuk tugas ke desa Jambara itu?” Istri Pak Hadiyat bertanya dengan gusar padaku yang masih terpaku melihat keadaan rekanku yang mengkhawatirkan.
Aku menghela nafas panjang. “Biar nanti saya yang bicara sama Pak Kabid, Mbak. Kalau mungkin, saya mau saja gantikan Pak Hadiyat buat tugas disana.” Jawabku mencoba menenangkan.
Istri Hadiyat menghembuskan nafas lega dan tersenyum berterima kasih padaku.
***
“Bun, Azka kebagian tugas lagi diluar kota.”
Bundaku mendesah pasrah.”Dimana lagi? Papua?” Tanya Bunda.
“Bukan Bun, masih di pulau Jawa. Cuma didesa kecil gitu. Disana tenaga kesehatannya terbatas sekali Bun. Azka gantiin Pak Hadiyat yang kecelekaan kemarin.”
“Hadiyat kan Mantri kesehatan, kamu dokter muda. Agak beda tuh, kenapa kamu yang gantiin?” Protes Bunda.
Aku tersenyum kecil mendengarnya. “Azka yang mau Bun. Pak Hadiyat kan rekan satu tim aku.”
Bunda memutar- mutar pinggiran gelas kristal kesayangannya tampak berfikir. “Harus?” Tanya Bunda terdengar agak kesal.
“Harus Bun. Kapan lagi sih kita dapet kesempatan buat membantu saudara-saudara kita disana?”
Bunda mendesah kalah lalu mengangguk pelan memberiku izin.
***
Aku berdecak kagum melihat sebuah gapura besar dengan bentuk atap melengkung yang dihiasi ukiran-ukiran batik tradisional dengan tulisan Desa Jambara yang cukup besar berdiri dengan kokoh di depanku.
Saat mulai berjalan melewati gerbang Desa, suasana sepi dan udara sejuk yang menyegarkan menerpa tubuh lelahku. Deretan rumah-rumah panggung sederhana berjejer dengan tipe dan bentuk yang hampir serupa. Berbaris teratur dengan suasana asri yang sama dan terlihat menarik. Mungkin hanya ada beberapa rumah yang lantainya sudah menggunakan keramik putih atau lapisan halus semen.
Aku menghirup udara segar yang sulit kudapatkan di kota-kota besar. Amat sangat nyaman. Baru beberapa menit tiba di tempat ini, rasanya aku akan betah dan cukup nyaman meski harus tinggal lama disini. Karena baik udara maupun suasana dan pemandangannya, benar-benar memikat.
Aku berjalan pelan sambil melihat-lihat dihampir setiap sisi rumah yang ada didesa ini, ditumbuhi sebuah pohon besar yang membuat suasana teduh dan nyaman semakin menonjol. Aku berjalan di jalanan tanah yang terbentang luas dan diapit deretan rumah-rumah panggung di kanan kirinya. Aku mencari kantor perangkat Desa atau mungkin rumah Kepala Desa yang jadi tujuanku.
Suara kicauan burung yang terdengar bersahutan membuatku tersenyum haru dan kagum secara bersamaan. Suasana seperti ini, benar-benar menenangkan hati. Desa kecil ini pasti akan jadi salah satu tempat favoritku setelah desa dan hutan-hutan alami di Papua sana.
Aku berhenti didepan sebuah rumah yang terlihat paling megah di antara semuanya. Aku mengira, mungkin inilah rumah Kepala Desa yang kucari.
“Assalamu’alaikum.” Ucapku didepan pintu berukiran bunga-bunga yang terpahat begitu detail.
“Waalaikumsalam. Siapa ya?” Suara seorang pria terdengar dari balik pintu yang sedikit terbuka itu.
Lalu muncullah sesosok pria berusia kisaran 50 tahunan yang berbadan tinggi tegap dari rumah itu.
“Saya Azka, Dokter yang ditugaskan Kementrian Kesehatan ke Desa Jambara ini.” Jawabku ramah.
Si bapak tadi tampak kaget dan sumringah mendengarnya. “Wah! Pak Dokter ya. Masya Allah… Maaf. Silahkan masuk, Pak.” Bapak itu merangkul bahuku dan mengajakku masuk kedalam rumahnya.
Aku melihat keadaan dalam rumah yang terasa sejuk alami sejak pertama aku masuk. Ada kursi kayu dengan tempat duduk busa berbungkus kain motif batik, meja kaca yang di topang oleh kaki-kaki kayu dengan ukiran berbentuk sayap dan sebuah lemari kaca cukup lebar yang berisi barang-barang antik seperti keris, pedang, kujang dan beberapa benda bernilai budaya tinggi lainnya.
Aku duduk melepas lelah lalu tersenyum kearah bapak pemilik rumah yang tengah menyuruh istrinya membawa jamuan untukku.
Selang beberapa lama, seorang gadis remaja yang terlihat cukup manis datang membawa nampan dengan dua cangkir tanah liat dan sebuah teko bulat berbahan tanah liat juga diatasnya.
“Silahkan diminum Pak Dokter. Ini teh yang kami petik dari hasil perkebunan sendiri di desa ini.” Ucap Bapak tadi sambil menggeser cangkir teh itu kearahku.
“Terima Kasih,, Pak…?”
“Oh saya Arinto. Kades disini.” Jawabnya sambil tersenyum.
“Alhamdulillah,,, ternyata saya tidak salah rumah.” Ucapku jujur.
Pak Kades tertawa di depanku. “Terimakasih Pak Dokter sudah berkenan datang kemari. Di desa ini memang sekarang sedang darurat, banyak yang sakit panas, muntah-muntah juga. Yang mau melahirkan juga mungkin akan ada sebentar lagi. Soalnya ada ibu-ibu yang hamilnya sudah besar.”
Aku mengerutkan dahiku. “Lho? Memangnya disini tidak ada petugas kesehatan sama sekali?” Tanyaku heran.
“Kemarin sih ada bidan. Orangnya baik, murah hati. Tapi bidan Dewi meninggal sebulan lalu. Kata suaminya bidan Dewi punya penyakit jantung. Rumah sakit juga ada, tapi jauh Pak dari sini. Lagipula warga desa agak malas pergi ke rumah sakit kabupaten, mahal katanya. ” Jawab Pak Kades.
Aku mengangguk mendengarnya. “Wah, saya kagum. Ternyata Pak dokternya masih muda. Usianya berapa?” Tanya Pak Kades.
Aku tersenyum. “Saya dua puluh sembilan tahun Pak.” Jawabku.
“Wah. Sudah menikah?” Tanya Pak Kades sumringah.
Aku tersenyum kecil mendengar pertanyaannya. “Belum Pak.” Jawabku singkat.
Pak Kades terlihat berbinar mendengarnya.
‘Hm.. Aku mengendus ide perjodohan dari Kades ini.’
“Wah, putri saya yang tadi juga belum menikah. Usianya 19 tahun, Pak Dokter. Sudah lulus SMEA di desa sebrang sana.”
‘Nah, kan! Dugaanku tepat.’
Aku tersenyum saja menanggapi promosi terselubungnya itu.
Kami mengobrol panjang lebar mengenai seluk beluk dan banyak permasalahan di desa ini. Mulai dari pasokan listrik yang belum menyeluruh, letak sekolah yang terlalu jauh bagi tingkat SMP dan SMA, sampai dengan minat warga desa yang semakin menurun pada pendidikan setiap tahunnya.
Apalagi khusus untuk kaum wanita di desa ini. Kebanyakan dari mereka menganggap pendidikan untuk menjadi seorang istri yang baik, lebih penting dan lebih berguna dari pendidikan formal. Kecuali untuk keluarga-keluarga yang cukup mengerti dan cukup berpendidikan, baru akan menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang yang cukup mumpuni. Contohnya Pak Kades yang mempunyai satu anak gadis lulusan SMEA lokal, dan seorang anak laki-laki yang kini duduk di bangku kelas 3 SMP.
Kami masih berbincang dengan akrab saat suara gedoran kencang dan teriakan panik terdengar dari pintu masuk tadi.
“Pak Kades! Pak! Darurat Pak!” Teriak seorang bapak kurus berkumis dengan sarung tersampir di bahunya.
“Ada apa Pak Bagja?” Pak Kades yang buru-buru keluar denganku bertanya dengan panik.
“Si Melati g1l4 sakit Pak. Dia gak bergerak, kepalanya nunduk terus. Kami takut dia m4t1, Pak.” Ucap bapak bernama Bagja itu.
“Ya Allah… Pak dokter! Ayo tolong kami disana Pak!” Pak Kades menepuk pelan bahuku.
Aku mengangguk cepat. “Saya ambil tas dulu di dalam.” Jawabku lalu melesat kedalam rumah.
Kami setengah berlari dengan gusar kearah hutan diujung desa.
“Sebenarnya siapa yang sakit Pak Kades?” Tanyaku benar-benar penasaran.
“Warga sini juga, tapi anaknya gak waras. Jadi kami terpaksa memasung dia dia gubuk bambu di ujung desa” Jawab Pak Kades.
Aku terbelalak ngeri mendengarnya.
“Dipasung?” Tanyaku kaget.
Pak Kades menganguk sambil meringis miris.
“Kenapa gak di obati sama keluarganya?” Tanyaku agak kesal dan heran.
Bagaimanapun pemasungan itu bisa di kategorikan pelanggaran HAM. Dan orang itu tentu berhak mendapat pengobatan yang layak sebagai warga negara jika memang kondisinya memungkinkan.
“Melati yatim piatu. Sudah lama. Ayahnya meninggal karena angin duduk. Tapi ibunya yang g1l4 juga meninggal lebih dulu karena lompat ke sungai.” Ucap Pak Kades sedih.
Aku terhenyak mendengarnya. “Melati? Yang dipasungnya perempuan, Pak?” Tanyaku terkejut.
Pak Kades mengangguk lagi.
“Sudah berapa lama dia dipasung?” Tanyaku iba.
Pak Kades terdiam beberapa saat terlihat berfikir. “Sudah empat tahun, Pak Dokter.”
Aku menghentikan langkahku seketika. “Apa?! Empat tahun? Ya Tuhan…”
Aku tersentak miris. Siapapun orang yang dipasung itu, hidupnya benar-benar mengenaskan. Hak-haknya sebagai manusia juga turut terpasung tentunya.
Meski orang itu disebut tidak waras, bukan berarti kita yang mengaku waras boleh memperlakukan mereka bagai binatang liar yang dianggap bahaya dan harus dirantai.
Seharusnya jika gangguan jiwanya masih di tahap depresi atau ringan, maka dorongan semangat moril, konseling dan juga pengobatan secara kerohanian bisa diupayakan. Dan jika gangguan jiwanya parah, ada yayasan tertentu yang dengan sukarela akan menampung mereka jika memang faktor utamanya itu karena biaya.
Kami berhenti di sebuah gubuk bambu yang di kelilingi puluhan pohon bambu rimbun di kanan kirinya. Pak Kades membuka pintu gubuk yang tidak terkunci dan aku turut masuk secepat mungkin.
Aku menahan nafas dan tersentak karena apa yang akhirnya kulihat.
Di atas sebuah dipan kayu dengan kasur kapuk yang sudah lepek ada seorang wanita bertubuh kurus yang tertunduk lemas dengan badan bersender pada dinding bilik. Tangan kirinya terikat rantai besi sepanjang hanya satu meter lebih sedikit. Begitu juga kakinya, di belenggu dengan rantai panjang serupa.
Di sisi dipan itu ada sebuah kloset usang yang terlihat ditutupi triplek. Sebuah ember jelek dan gayung biru ada disebelahnya tepat dibawah pancuran paralon kecil yang disumbat dengan sabut kelapa yang terikat.
Hatiku berdenyut nyeri karena iba pada wanita itu. Dia benar-benar di perlakukan buruk meski nasi dan buah yang terlihat segar tertata rapi di sebuah meja kayu kecil di sisi dipan.
Aku mendekatinya dengan mantap. Aku harus menolongnya. Kondisinya malah akan semakin buruk kalau dia di perlakukan seperti ini.
Wanita itu masih terus menunduk dengan rambut panjang kusut masai dan bisa disebut terlihat gembel. Aku mau tak mau, jadi teringat pada orang-orang gangguan jiwa yang berkeliaran di jalan raya.
Aku berjongkok didepannya, dan berusaha berbicara sepelan mungkin.
“Melati, saya seorang dokter. Izinkan saya periksa anda ya.” ucapku sehati-hati mungkin mengantisipasi penolakan atau amukan dari wanita yang terlihat menunduk kepayahan itu.
Lalu kepala yang tertunduk itu sedikit demi sedikit bergerak terangkat. Wanita itu melihat kearahku.
Aku tertegun melihatnya. Bingung.
Aku beberapa kali melihat orang depresi yang memandang dengan mata hampa menerawang. Anehnya, mata hampa itu tidak kutemui dari wanita kurang waras didepanku.
Kedua mata sayu itu malah terlihat normal dan terselip tatapan sedih dan ketakutan.
Aku terdiam menatap sebingkai wajah kumal didepanku. Tapi mataku cukup awas untuk bisa menangkap bentuk hidung mancung dan mata coklat kehitaman yang dipayungi sepasang alis hitam yang melengkung indah secara alami.
Wajah tirus dengan mata cekung itu kini menatapku dengan tatapan tak terbaca.
Bukan jenis tatapan kosong menerawang, justru aku malah menangkap isyarat seolah wanita itu tengah berfikir keras.
Pak Kades mendekat kearah kami. “Gimana Pak Dokter?” Tanyanya menyentakku yang terus terdiam.
Aku sedikit berdehem untuk meredakan rasa tegangku.
“Melati. Tolong berbaring ya. Saya mau periksa sakitnya apa.” ucapku dengan jelas, entahlah aku merasa cukup yakin wanita g1l4 itu akan benar-benar faham yang kukatakan.
Aku memberi isyarat untuk mundur pada Kades saat melihat Melati mulai bergerak.
Namun, bukannya berbaring, Melati malah mendekatkan wajah kurus dan rambut kusutnya kearahku. Matanya yang cekung menatap lurus ke arahku.
Aku menelan ludah gugup. Sedikit merasa takut dan merinding saat merasakan hawa panas tubuhnya yang mendekat padaku. Akibatnya aku malah diam terpaku dengan kepala wanita g1l4 itu tepat disamping wajahku. Tak lama kemudian, suara bisikan lirih terdengar dan membuat seluruh tubuhku meremang.
“To..long aku..”
Part 01 end. Cerpen Bunga (Perawan) Part 01 adalah cerita pendek karangan Tia Ayu Lestari. Kategori Cerpen Romantis. Pembaca dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya dengan mengklik namanya.