Kupandangi undangan merah hati itu dengan sedikit kesal dan putus asa. Nama adikku, Azka Putra tertera dengan huruf yang cukup besar sebagai mempelai prianya.
Untuk kesekian kalinya rasa putus asa menyerangku. Bukan karena adikku akan melangkahiku menikah yang kufikirkan, tapi titah ibuku yang wajib kupatuhi dan kemauan hatiku yang bertentanganlah yang menyiksaku dengan cara yang menyebalkan.
Konyol. Seorang pria dewasa dan mapan sepertiku bisa dijungkirbalikkan oleh berbagai macam emosi hanya karena seorang gadis buta huruf berusia 19 tahun yang tak sengaja kukenal beberapa bulan lalu. Gadis itu bahkan tak pernah berbuat apapun yang kuanggap sebagai upayanya untuk menarik perhatian seperti yang gadis lain lakukan.
Larasati. Nama yang tidak pernah kukira akan mampu merubah seluruh rancangan masa depan yang sejak lama kupersiapkan. Gadis itu, dengan segala ketidaktahuannya terhadap banyak hal ternyata mampu memberiku banyak pelajaran tentang berbagai hal yang tak pernah kupedulikan sebelum kehadirannya.
***
Pertemuan pertamaku dengan Larasati jauh dari kata menyenangkan.
Saat itu aku tengah terjebak ditengah kemacetan ibukota yang tak bisa lagi kusumpahi karena sudah terlalu bosan melakukannya. Aku menyalakan rokok untuk mengisi kebosananku. Suara musik yang biasanya mampu memperbaiki moodku pun sudah terdengar bak lengkingan nada yang sekedar lewat di telingaku. Aku bosan, marah, jengkel dan tumpukan keluhan emosi lain yang rasanya ingin segera kuledakkan pada sesuatu.
Aku memukul stir mobil kijangku dengan kesal. Tubuhku lelah oleh berbagai hal secara bersamaan. Tuntutan keluargaku yang konyol tentang batas usia pernikahan dikeluarga besar kami mendominasi sebagian besar kelelahanku.
Dengan berusaha membangun kesabaran dan niat menurunkan sedikit tekanan, kubuka jendela mobil disampingku. Kufikir mungkin sesuatu hal diluar sana akan mampu sedikit mengalihkan fikiranku.
Dan hal itu tak kusangka benar-benar terjadi.
Aku melihat seorang gadis remaja tengah berdiri menatap sebuah papan reklame iklan sebuah restoran cepat saji di ujung trotoar.Gadis itu berdiri tidak terlalu jauh dari jalan raya yang lumpuh total.
Mulanya, aku tertarik karena tas punggung yang dipakainya. Sebuah tas hitam agak lusuh bergambar kartun sailormoon yang menurutku tak lazim dipakai gadis seusianya. Gadis itu terlihat mengacung-ngacungkan jarinya dengan kepala mendongak penuh kearah papan iklan itu.
Aku tersenyum kecil karena mengira gadis itu mungkin seorang autis yang merasa tertarik karena gambar iklan itu.Lalu gadis itu berbalik, hingga aku bisa melihatnya dengan jelas rupa si pemakai tas kartun itu.
Wajahnya putih bersih, cukup cantik untuk ukuran tipe umum wanita Indonesia. Ekspresinya terlihat sedih, dan wajahnya terlihat basah oleh keringat juga dirambut dan dibagian leher kaosnya yang berwarna biru muda.Dia menunduk dalam dengan tangan merogoh saku disisi roknya yang bermotif batik.
Aku tergelak geli namun sedikit iba saat melihat gadis itu menarik bagian dalam sakunya yang kosong hingga keluar. Dia terlihat murung sambil mengusap-ngusap perutnya.
Ah! Sepertinya gadis itu lapar.
Entah karena instingku sebagai sesama manusia, atau karena iba melihat gadis yang terlihat tersiksa itu aku tergerak ingin membantunya. Setelah memastikan antrian mobil didepanku tak mungkin bergerak dalam waktu dekat, aku keluar dan menghampiri gadis nelangsa itu.
Saat kami berhadapan, dia mendongak padaku dengan wajah bingung. Aku berusaha tersenyum seramah mungkin agar dia tak ketakutan atau berfikir macam-macam padaku.
Aku geli sendiri dengan tindakanku, ternyata orang yang disebut tak punya kepedulian sosial sepertiku malah sekarang berniat membantu orang lain dengan antusias.
“Mbak, baik-baik saja? Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku ramah.
Dalam hati aku berfikir,adikku si Azka, yang selalu sok jadi pahlawan kemanusiaan itu pasti akan kena serangan jantung ringan kalau melihatku beramah-tamah pada orang susah.
Gadis itu menyipitkan matanya curiga kearahku. Dia sedikit mundur defensif saat kusapa.
Oke, aku tarik asumsiku tentang autis tadi. Karena jelas gadis ini sangat normal.
Yaa,,, meski bagian tas sailormoonnya masih sedikit menggelitikku.
“Mbak, mukanya pucet.” Ucapku jujur.
Dia menangkup pipinya dengan tangan kurus yang tampak lembab. “Saya laper, Mas. Tapi uangnya habis di pakai naek ojek sampe lampu merah sana tadi.” Tuturnya lemah sambil menunjuk kearah lampu merah beberapa meter di belakang kami.
Aku mengangguk mengerti. Lalu mendongak kearah papan iklan yang tadi dipandanginya dan sedikit meringis.
Emangnya liatin iklan doang bisa kenyang ya? Gumamku sambil meringis dalam hati.
Aku menoleh kearah kemacetan yang masih tak juga bergerak.
Tak heran sih, sebuah kecelakaan bus yang cukup parah menambah daftar penyebab kemacetan dijalan yang rutin kulewati untuk pulang.Kulihat ternyata cukup banyak juga pengendara yang keluar dari mobilnya sepertiku.
Aku beralih lagi pada gadis berantakkan yang mengusik kepedulianku yang jarang muncul kepermukaan itu. “Saya belikan mbak makanan, boleh?” tanyaku hati-hati
Gadis itu terlihat semakin defensif dan menatap penuh antisipasi kearahku. Aku sedikt geli melihat tampang sok galak di wajah pucatnya.
“Mas orang jahat ya?” tuduhnya
‘hah? Apa dia bilang?’
Oke, aku tertawa mendengarnya.
“Gak mbak, saya benar-benar berniat membantu. Kasian aja liat mbak pucet gitu.”Elakku yang akhirnya malah terdengar konyol dan agak berbau modus.
“Di sinetron kan orang nipu suka pura-pura nolong Mas.” Jawabnya tegas
‘hah? dia bilang apa? Sinetron? Haha! Ya TUhan… Aku benar-benar menertawakannya dalam hati.
Oke, normalnya orang kalau niat baiknya ditolak pasti pergi dengan masa bodoh. Tapi anehnya, sepertinya sisi malaikatku yang mendominasi di momen ini. Aku malah tersenyum sabar kearahnya.
“Di sinetron juga banyak orang baik, Mbak.” Kataku sedikit berniat bercanda
Gadis itu mendelik kearahku.Membuatku lagi-lagi tersenyum kecil melihatnya.”Dih! Mana ada orang baik ngaku sendiri?” celetuknya asal
Aku terkekeh pelan mendengarnya.Ekspresi curiganya itu malah membuatku gemas daripada kesal atau tersinggung.
“Saya memang berniat baik mbak. Oya, nama saya Andakara.” aku mengulurkan tangan kearah gadis yang kini terlihat semakin pucat itu.
“Larasati.” jawabnya lemah
Tangannya terasa dingin dan basah karena keringat saat kami bersalaman.
“Ayo makan Mbak! Kayaknya gak lama lagi Mbak bisa pingsan.” aku menunjuk ke restoran cepat saji yang iklannya dia lihat tadi.
Entah karena terlalu lemas untuk menolak lagi, atau karena dia benar-benar sudah sangat kelaparan, akhirnya dengan sukarela dia mengikutiku meski ragu-ragu.
“Laras gak ada uang, Mas.” Lirihnya dibelakangku
“Saya yang bayar. Tenang aja.” Jawabku
Kami duduk di dekat jendela kaca agar lebih mudah mengawasi mobilku yang kutinggal di tengah jalan.
Aku membaca menu tanpa sempat melihat kearah Laras lagi.” Mbak, mau makan apa?” Tanyaku tanpa mengalihkan mata dari buku menu ditanganku
“Itu mas… yang ini makanan apa ya?” aku melirik menu yang ditunjuk Laras sekilas.
“Disitu ada namanya kan?’ tanyaku sambil sibuk mencari pelayan yang belum juga datang kemeja kami
Hening beberapa saat.
“Itu… saya gak bisa baca, Mas.” Ucapnya dengan pelan
Aku sontak menoleh dengan ekspresi tercengang kearahnya.” Kamu… gak bisa baca?” tanyaku tak percaya
Laras mengangguk dengan wajah malu-malu.” Kok bisa?” tanyaku masih tak percaya.
“Ya bisalah. Laras tidak pernah sekolah.” jawabnya sendu
Aku meringis, aku memang tidak menutup mata pada kenyataan bahwa di banyak daerah di negara kita termasuk Jakarta ini masih banyak orang yang buta huruf karena berbagai alasan. Tapi bagiku sendiri, tidak ada patokan wajib bahwa belajar baca tulis itu harus selalu di sekolah. Asal ada kemauan keras dari manusianya sendiri, pelajaran bisa di dapat di manapun, kapanpun dan dari siapapun.
Jadi saat aku berhadapan langsung dengan orang yang mengaku tak bisa baca tulis di zaman serba mudah sekarang ini, jujur itu sedikit membuatku kecewa. Dan itu berlaku bagi siapapun. Bukan cuma gadis bernama Laras ini.
“Umur kamu berapa?” tanyaku yang memilih bahasa yang lebih bersahabat saja agar lebih nyaman
Laras menunduk menatap tangannya yang membentuk bulatan-bulatan asal diatas meja. “Sembilan belas tahun Mas.” jawabnya pelan
Aku menghembuskan nafas pelan melihatnya yang terlihat sedikit gusar. Mungkin dia merasa sedikit perubahan mood yang kurasakan.
“Kamu tinggal di daerah mana?” tanyaku penasaran
“Saya kemarin nyusul tetangga yang ngajakin kerja disini.”
Aku mengerutkan kening bingung.” Memangnya asal kamu dari mana?”
Kedatangan pelayan menginterupsi obrolan kami.
Ah! Ralat! Bukan obrolan sepertinya. Karena sekarang rasanya aku seperti sedang mengintrogasi gadis ini saja.
Aku menyebutkan pesanan sesuai yang ditunjuk Laras di buku menu tadi pada seorang pelayan dengan lipstik merah muda yang terlihat lumayan manis.
“Saya dari Blitar, Mas.”
Aku mengangguk mendengar jawabannya.” Gimana caranya kamu sampai Jakarta kalau gak bisa baca? Gimanapun ada alamat atau kendaraan yang harus kamu cari kan?”
Laras terdiam sebentar.” Saya gak bisa baca, bukan berarti gak bisa nanya kan, Mas?”
Aku tersenyum konyol menanggapinya. Sial!
“Kenapa kamu gak sekolah?” tanyaku penasaran meski terlihat jelas kemungkinan alasan ekonomi penyebabnya.
“Laras kerja, Mas. Buat makan.” jawabnya singkat.
“Belajar kan gak harus di sekolah. Bisa aja kamu belajar dari teman kamu yang sekolah.” kataku berpendapat
Laras terdiam tampak melamun sebentar.” Rumah Laras agak naik bukit. Tetangganya jauh.Ada yang deket, tapi gak mau ajarin saya.”
Aku diam mencerna jawabannya.”Kamu punya saudara?” tanyaku lagi
Dia mengangguk sambil tersenyum.Ekspresinya seketika melembut, sepertinya dia memikirkan saudaranya.
“Ada Mas.Dua orang adik perempuan saya kembar. Wajahnya sama. Namanya Rina Rini, dua-duanya sekolah SD kelas 3. Mereka pinter, Mas.” jawabnya begitu sumringah
“Lho?Itu adik kamu sekolah. Kamu kenapa gak belajar juga sama mereka?” tanyaku tak habis fikir
“Maunya gitu. Tapi Rina Rini tinggalnya sama Pak De saya. Jauh.Harus lewatin dua kampung lagi dari rumah.Laras kerja di pabrik gula merah tetangga, jadi jarang ketemu sama adik-adik.”
Oke, ada yang hilang di ceritanya.”Orang tua kamu kemana?” tanyaku heran
“Udah meninggal dua-duanya Mas.Udah lama.Makanya saya kerja. Pak De cuma tukang becak, anaknya juga dua. Jadi gak mungkin biayain adik saya juga.”
Aku menghembuskan nafas panjang mendengarnya.
Banyak remaja seusianya dengan cueknya membolos dengan dalih jenuh belajar, bahkan tak usah jauh, adik sepupuku yang perempuan sering bolos dan memilih jalan di mall karena malas sekolah.
Dan sekarang, aku duduk berhadapan dengan seorang remaja yang terpaksa harus memilih antara dirinya dan masa depan dua adiknya.
Hm..Jujur. Aku merasa agak sedikit… Minder.
Disaat aku merengek meminta ditambah uang jajan, Larasati justru mungkin tengah berjuang dan berfikir untuk menghidupi adik-adiknya yang harus dia penuhi segala kebutuhannya.Aku memang sering menonton cerita-cerita tentang orang kurang beruntung di televisi. Dan aku cukup dengan berkomentar kasihan, atau bahkan tak peduli sama sekali.
Tapi, saat berhadapan langsung dengan orang bernasib seperti mereka di dunia nyata, rasanya….
Malu.
Iba mungkin tak bisa kuhitung di dalamnya. Yang ada justru rasa kagum.
Mungkin orang seperti Laras inilah yang membuat adikku tersentuh dan tergerak untuk ikut memperjuangkan nasib orang-orang yang kurang beruntung di daerah-daerah terpencil sana.
***
Aku tersenyum kecil saat melihat Laras makan dengan lahap di depanku.” Habis ini kamu mau kemana?” tanyaku
Laras meneguk minumannya dengan cepat.” Oh. Ini Mas.Minta tolong bacain ya.”Laras menyodorkan selembar kertas padaku.
H. Ismail Yahya
Jl. Mawar No.3. Jakarta Barat.
No. Rumah: 87
Aku terkekeh pelan membaca alamat itu.” Saya antar kamu kesana. Kebetulan saya lewat alamat itu nanti.”
Laras tersenyum malu-malu kearahku.” Boleh?” tanyanya rau-ragu
Aku mengangguk mantap menjawabnya.
Setelah makan, kami berjalan kearah mobilku yang masih terjebak ditengah kemacetan.
Hm,,, gak apa-apalah. Sekarang ada Laras yang bisa kuajak ngobrol.
Saat kemacetan berakhir setelah beberapa jam yang menjemukan, aku melaju pulang dan kami cukup menikmati perjalanan.Laras membuatku tertawa beberapa kali melihat responnya saat melihat gedung-gedung yang kami lewati.
“Wah… Kayak di film Mas. Bagus semua rumahnya.” komentarnya saat kami melewati deretan rumah yang cukup besar di sepanjang jalan
“Itu kamu tahu. Punya TV juga dirumah?” tanyaku
Laras tersenyum simpul.” Gak mas .Laras suka nonton di TV nya bu Haji Ruki yang punya pabrik gula di kampung. Hehe.” jawabnya
“Tapi bahasa Indonesia kamu bagus lho. Belajar dimana?” tanyaku benar-benar penasaran
Dia sedikit terkekeh.”Laras sudah lama Mas kalau bicara bahasa Jakarta. Bu Haji Ruki itu dulu pas di nikahi Pak haji Asnap yang punya pabrik gula pindah ke kampung saya gak bisa bahasa jawa. Pa Haji yang ajari, Laras kan suka ikut bu Haji jadi terbiasa.”
“Katanya Bu haji itu orang Jakarta.Adiknya temen almarhumah istri pertama pak haji.Gitu mas.”
Aku mengangguk mendengarnya.” Kamu… Nyesel gak, karena gak bisa sekolah?” pertanyaan yang sejak tadi mengusikku akhirnya kulontarkan juga
Laras terdiam sejenak.” Pasti lah Mas. Cuma kata Pak De, orang jujur sama berharganya sama orang pintar dan banyak ilmu. Jadi Laras berusaha aja buat selalu jujur. Biar jadi manusia yang ada harganya.” jawabnya mantap.
Aku tertegun dan memikirkan kalimat itu dengan serius.
Pemikiran yang bagus…
Karena saat ini lebih sulit mencari orang yang jujur daripada orang pintar.Kita bisa menemukan orang terpelajar dengan nilai tinggi, dan banyak gelar dengan mudah.Tapi semua hal itu belum tentu diiringi oleh kejujuran dalam setiap tindakan mereka.
Karena semakin pintar manusia, maka semakin banyak keinginan, ambisi dan tujuan yang mereka miliki demi keuntungan diri mereka sendiri.
Dan sialnya, mungkin satu diantara golongan itu, adalah aku sendiri.
Aku tersenyum geli dengan fikiranku sendiri.
“Pak De kamu bisa baca?” tanyaku
“Sedikit Mas. Tapi Pak De ajari Laras hafalin uang sama cara bedainnya satu-satu.”
Aku tersenyum kecil membayangkan caranya berhitung kalau tidak tahu angka atau semacamnya.Penasaran dan sedikit bingung. Tapi ada juga rasa kagum lagi yang kurasakan.Pak De nya yang tukang becak itu sepertinya pribadi yang baik dan cukup berperan besar membentuk karakter gadis yang duduk disebelahku ini.
“Laras.”
Laras mengalihkan perhatiannya padaku.
“Iya Mas?” tanyanya bingung
Aku menatap wajahnya yang cantik dan polos tanpa make up apapun.”Saya Senang bisa mengenal kamu.” ucapku tulus.
Laras tersenyum lembut padaku.
Sial! Dia cantik sekali…
“Laras juga senang kenal sama Mas Anda.” suaranya lembut dan jelas terasa ketulusan di dalamnya.
Aku tersenyum benar-benar merasa tak ingin bicara apapun setelahnya. Melihat wajahnya yang lembut dan terlihat lelah, entah kenapa membuatku merasakan perasaan nyaman.
Aku tersenyum konyol sendiri akhirnya. Dan aku yakin, setelah malam ini aku pasti akan mencari-cari alasan untuk bisa bertemu lagi dengan gadis buta huruf ini.
Gadis yang mempesonaku dengan caranya sendiri.
***
Part 01 end.
Cerpen Andakara Part 01 adalah cerita pendek karangan Tia Ayu Lestari. Kategori Cerpen Cinta. Pembaca dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya dengan mengklik namanya.